Kamis, 10 Mei 2012
Selasa, 08 Mei 2012
Asta Gumuk SUMENEP- Pasarean K. Ali Barambang
Kuburan biasanya menjadi tempat yang menakutkan, tapi di Asta Gumuk ini saya merasakan suatu kesenangan yang berbeda.
Asta Gumuk ini terletak di dusun Brambang, Kalianget – Sumenep. Tempatnya tidak terlalu jauh dari Keraton Sumenep.
Tulisan ini berdiri di atas bangunan berbatu bata putih khas pulau Madura.
Asta
Gumuk adalah tempat peristirahatan terakhir Kyai Ali. Beliau mempuyai
silsilah dari Syekh Maulana Sayyid Jakfar, As Sadik atau dikenal dengan
Sunan Kudus. Semasa hidupnya beliau merupakan ulama yang disegani dan
(konon katanya) beliau bahkan bisa membuat seekor kera mengaji.
Dari depan sebenarnya pemandangannya kurang menarik, makam-makam ini kurang teratur rasanya.
Namun
saat mulai menyentuh jalan panjang ini, rasanya WOW... Sampai saya
berulang-ulang memaki dalam hati “GILA ! BAGUS BANGET SIH !!!!”
Oya di samping jalan utama ada sebuah pompa air yang sudah tua sekali. Tampaknya sudah tidak bisa digunakan.
Masuk
ke dalamnya saya semakin kagum. Saya suka arsitektur makam ini. SUKA
SEKALI! Walaupun ada beberapa bagian yang roboh tapi saya gak bisa
berhenti untuk berdecak kagum. I mean... ini udah tua begini aja masih
punya daya tarik yang luar biasa, apalagi saat baru dibangun dulu...
Di desa Kalimo’ok, tepatnya sebelah timur lapangan terbang Trunojoyo Sumenep terdapat kuburan/Asta K.Ali Barangbang. Mengapa dikatakan Barangbang, sebagaimana biasanya di MAdura peran kiyai selalu terkait dengan tempat dimana masyarakat yang dipimpinnya tinggal. K. Ali Barangbang mempuyai silsilah dari Syekh Maulana Sayyid Jakfar, As Sadik atau dikenal dengan Sunan Kudus yang mempunyai keturunan Pang. Katandur yang mempunyai empat anak yaitu : K. Hatib Padusan, K. Hatib Sendang, K. Hatib Rajul, K. Hatib Paranggan. Dari Putra pertamanya diberi keturunan K. Ali Barangbang yang wafat 1092 H.
Semasa hidupnya K. Ali merupakan ulama besar dan
penyiar agama islam yang sangat disegani. Bahkan raja Sumenep juga
berguru kepadanya. Konon menurut sejarah K.Ali mempunyai kelebihan
diluar nalar, binatang (kera) di ajari berbicara bahkan sampai bisa
mengaji. Pada waktu pemerintahan Sumenep masih berbentuk kerajaan.
Seorang raja mempunyai anak, dititipkan k. Ali untuk belajar mengaji.
Ringkas cerita, pada saat belajar mengaji Putra Raja tersebut dipukul
oleh K. Ali. Setelah itu Putra Raja pulang dan mengadukan sikap K. Ali
pada ayahandanya. Raja sangat marah namun Raja tidak langsung menghukum
K. Ali. Raja memerintahkan prajurit untuk memanggil K. Ali dan
menanyakan alasan mengapa putranya dipukul. Tanpa rasa takut K. Ali
menjawab bahwa sebenarnya dia tidak berniat memukul putra raja
melainkan ingin mengusir kebodohan yang menemani putra raja. Mendengar
jawaban tersebut raja tersinggung putranya di anggap bodoh, dengan
marah kemudian raja memerintahkan hal yang sangat mustahil. Jika K Ali
memang bisa membuat orang pintar dengan memukul maka K. Ali boleh pulang
membawa kera dengan syarat harus bisa mengajarinya agar kera itu bisa
mengaji.
Ringkasnya sang kera dibawa oleh K. Ali ke rumahnya. Setiap malam K. Ali mengajak sang kera untuk memancing bersamanya, hingga suatu malam tepatnya malam ke 39, K. Ali memberikan tali tambang yang terbuat dari sabut kelapa kepada sang kera dengan cara mengikatkan pada jarinya lalu dibakar. Sambil berkata K. Ali kepada kera : “Hai kera jika sampai pada jarimu api itu dan terasa panas di tanganmu maka teriaklah dan katakan panas…” saat itulah kera bisa berbicara dan akhirnya sang kera bisa mengaji.
Tiba saatnya sang kera untuk pulang ke keraton dan menunjukkan kemampuannya mengaji. Di keraton K. Ali disambut raja dengan pertemuan besar disaksikan oleh para punggawa kerajaan. Setelah semua berkumpul, kemudian sang kera di beri Alquran. Betapa terkejutnya sang raja beserta para punggawa yang hadir ketika melihat dan mendengar kera mengaji dengan indah. Setelah selesai mengaji K. Ali melemparkan pisang kepada kera dan berkata “Ilmu Kalah Sama Watak” yang dalam bahasa maduranya “Elmo Kala ka Bebethe’”. Dan raja pun ikut bicara bahwa barangsiapa yang menuntut ilmu belum menginjak tanah Brangbang maka ilmunya tidak syah.
Begitulah kisah cerita K. Ali yang rasanya sangat sulit di terima dengan akal sehat dan itulah kelebihan K Ali. Kini Asta K. Ali Brangbang tidak pernah sepi dari peziarah. Anda sudah pernah berkunjung kesana? Kalau belum, maka cobalah..!!
MAKAM BATU AMPAR PAMEKASAN MADURA
MAKAM BATU AMPAR MADURA
KISAH BUJU’ BATU AMPAR, MADURA
Sejarah singkat Pesarean Buju’ Batu Ampar
Inilah kisah yang meluruskan tentang animo masyarakat akan kebenaran
silsilah keturunan Auliya’ / Pemuka agama dilingkungan Buju’ Batu ampar.
Semata-mata untuk mengembalikan kesadaran kita tentang nilai kebesaran
Allah SWT. Seperti yang terdapat di Pesarean Buju’ Batu ampar ini adalah
kekasih-kekasih Allah yang telah mendapatkan karomah atas kemurahan
rahmat dan hidayah-NYA. Kisah ini semoga menjadi teladan serta penuntun
bagi kaum muslimin dan muslimat dalam sebuah perjalanan menuju cita-cita
mulia, guna menjadi INSAN KAMIL yang memegang teguh, menjaga serta
memelihara kemurnian islam hingga hari yang dijanjikan ( kiamat ).
Wallahu a’lam Bisshawab. KH.Ach.Fauzy Damanhuri.
Silsilah Auliya’ Batu Ampar, Madura
§ Sayyid Husein, berputra :
a. Syekh Abdul Manan / Buju’ Kosambi
b. Syekh Abdul Rohim / Buju’ Bire
§ Syekh Abdul manan / Buju’ Kosambi, berputra…
§ Syekh Basyaniah / Buju’ Tumpeng, berputra…
§ Syekh Abu Syamsudin ( Su’adi ) / Buju’ Latthong, berputra 3 :
a. Syekh Husein, berputra : ( ket. Dibawah )
b. Syekh Lukman berputra : Syekh Muhammad Yasin
c. Syekh Syamsudin, berputra : Syekh Buddih
§ Syekh Husein, berputra…
§ Syekh Muhammad Ramly, berputra..
§ KH. Damanhuri, berputra / putri 10 :
1. KH. Amar Fadli
2. KH. Mukhlis
3. KH. Romli
4. KH. Mahalli
5. KH. Kholil
6. KH. Abdul Qodir
7. KH.Ach. Fauzy Damanhuri
8. KH. Ainul Yaqin
9. Nyai Hasanah
10. Nyai Zubaidah
Sayyid Husein
Disuatu desa diwilayah Bangkalan, tersebutlah seorang pemuka agama Islam
yang bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena
ketinggian ilmu Agamanya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau
juga memiliki banyak karomah karena kedekatannya dengan sang
Kholiq.Beliau sangat dihormati pengikutnya dan semua penduduk disekitar
bangkalan.Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang membencinya.
Disebabkan karena mereka iri dengan kedudukan beliau dimata masyarakat
saat itu.Hingga suatu hari ada seseorang penduduk yang iri dengki dan
berniat buruk mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein.
Orang itu merekayasa cerita fitnah, bahwa Sayyid Husein bersama
pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan
kekuasaan raja Madura. Alhasil cerita fitnah ini sampai ditelinga sang
Raja. Mendengar kabar itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang
mengutus panglima perang bersama pasukan untuk menuju kediaman Sayyid
Husein.Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung
dan dibunuh secara kejam oleh prajurit kerajaan.Mereka melakukan hal
itu tanpa pikir panjang dan disertai bukti yang kuat. Akhirnya Sayyid
Husein yang tidak bersalah itu wafat seketika itu juga dan konon
jenazahnya dikebumikan diperkampungan tersebut.
Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat berita
yang mengejutkan dan sungguh mengecewakan, serta menyesali keputusannya
yang sama sekali tidak didasari bukti-bukti yang kuat. Berita tadi
mengabarkan bahwa sebenarnya Sayyid Husein tidak bersalah, karena
sesungguhnya beliau telah difitnah.Karena sangat menyesali perbuatannya,
Raja Bangkalan memberikan gelar kepada beliau dengan sebutan Buju’
Banyu Sangkah ( Buyut Banyu Sangkah ). Dan tempat peristirahatan beliau
terletak dikawasan Tanjung Bumi, Bangkalan.
Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Yang pertama
bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohiim. Kedua putra
beliau ini sepakat untuk pergi menghindari keadaan dikampung tersebut.
Syekh Abdul Rohim lari menuju Desa Bire ( Kabupaten Bangkalan ), dan
menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal
sebagai Buju’ Bire ( Buyut Bire ).
Wallahu a’lam
Syekh Abdul Manan ( Buju’ Kosambi )
Lain halnya dengan Syekh Abdul Manan. Beliau pergi mengasingkan diri dan
menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan
sengsara dan penuh penderitaan. Beliau sangat terpukul sekali
kehilangan orang yang sangat dikasihinya.Hingga akhirnya beliau sampai
disebuah hutan lebat ditengah perbukitan diwilayah Batu ampar (
Kabupaten Pamekasan ). Dihutan inilah akhirnya beliau bertapa /
bertirakat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.Dalam melaksanakan
hajatnya beliau memilih tempat dibawah Pohon Kosambi. Syahdan tapa
beliau ini berlangsung selama 41 tahun. Saat memulai tapa itu beliau
berumur 21 tahun. Hingga akhirnya beliau ditemukan anak seorang penduduk
desa ( Wanita ) yang sedang mencari kayu dihutan.
Singkat cerita akhirnya Syekh abdul Manan dibawa kerumahnya. Dari
hubungan tersebut, timbullah kesepakan antara orang tua si anak tersebut
untuk menjodohkan Syekh abdul Manan dengan salah seorang putrinya.
Sebagai tanda terima kasih, beliau memilih si sulung sebagai istrinya,
walaupun dalam kenyataannya sisulung menderita penyakit kulit. Anehnya
terjadi keajaiban di hari ke 41 pernikahan mereka.Saat itu juga sang
istri yang semula menderita penyakit kulit tiba-tiba sembuh seketika.
Dan bukan hanya itu kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita,
sampai-sampai kecantikannya tersiar kemana-mana.Dan konon kabarnya pula
bahwa Raja Sumenep mengagumi dan tertarik akan kecantikan istri Syekh
Abdul manan ini.
Dari pernikahan ini, beliau dikarunia seorang putra yang bernama Taqihul
Muqadam, setelah itu menyusul pula puta kedua yang diberi nama
Basyaniah. Setelah bertahun-tahun menjalankan tugasnya sebagai Khalifah,
akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Jenazahnya
dimaqamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Buju’ Kosambi. Dan
putra pertama beliau juga saat wafat jenazahnya dikebumikan didekat
pusaranya. Wallahu a’lam
Syekh Basyaniah ( Buju’ Tumpeng )
Putra kedua Syekh Abdul manan yang bernama Basyaniah inilah yang
mengikuti jejak ayahanda. Beliau senang bertapa dan cenderung menjauhkan
diri dari pergaulan dengan masyarakat. Dan beliau juga selalu menutupi
karomahnya.Ketertutupan beliau ini semata-mata bertujuan untuk menjaga
keturunannya kelak dikemudian hari agar menjadi insan kamil atau manusia
sempurna dan sholeh melebihi diri beliau serta menjadi khalifah yang
arif dimuka bumi.
Dalam menjalani hajatnya beliau bertapa dan memilih tempat disuatu
perbukitan yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng yakni suatu bukit
sepi dan sunyi yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran Illahi. Bukit
tersebut terletak kurang lebih 500 m arah barat daya ( antara
Barat-Selatan ) dari Desa batu Ampar.
Saat wafatnya beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi atau
terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Buju’
Latthong. Sedang jenazah Syekh Basyaniah dikebumikan berdekatan dengan
pusara Ayahanda. Beliau akhirnya mendapat julukan Buju’ Tumpeng. Wallahu
a’lam
Syekh Abu Syamsudin ( Buju’ Latthong )
Kisah hidup putra tunggal Syekh Basyaniah ini tidak berbeda dengan
perjalanan hidup yang pernah ditempuh oleh ayahanda dan buyutnya yakni
gemar bertapa dan selalu menyendiri bertirakat serta selalu
berpindah-pindah dalam melakukan tapanya.Misalnya salah satu tempat
pertapaanya yang ditemukan didekat kampung Aeng Nyono’. Wilayah tempat
tersebut ada ditengah hutan yang lebat. Karena seringnya tempat tersebut
dipergunakan sebagai lokasi tirakat / bertapa, oleh penduduk setempat
dinamakan Kampung Pertapaan.
Begitu juga bukit yang ada dikampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat
bertapanya Syekh Syamsudin. Disana terdapat sebuah kebesaran Allah yang
diperlihatkan kepada manusia sampai sekarang. Tepat disebelah barat
tempat beliau bertapa terdapat sumber mata air yang mengalir ke atas
Bukit Pertapaan. Konon Syekh Syamsudin mencelupkan tongkatnya sampai
akhirnya mengalir ke atas bukit hingga kini. Masya Allah…sungguh
merupakan karunia yang besar dan jauh diluar akal manusia. Atas dasar
keajaiban itulah yang menjadi asal-usul nama kampung Aeng Nyono’ (
Bahasa Madura ) artinya air yang menyelinap/mengalir ke atas. Dan konon
dengan air inilah beliau berwudhu dan bersuci.
Asal usul sebutan Buju’ Latthong
§ Keramat itu muncul karena disebabkan keluarnya sinar dari dada beliau.
Apabila sinar itu dilihat oleh orang yang berdosa dan belum bertaubat,
maka orang tersebut akan pingsan atau tewas.
§ Kisah lain menceritakan karena seorang yang berjuluk Buju’ Sarabe yang
bertabiat buruk berniat menghabisi beliau. Banyak penduduk desa yang
dibunuhnya. Tetapi ketika akan menghabisi Syekh Syamsudin, ketika Buju’
Sarabe dan anak buahnya mencabut senjata, mendadak senjata itu lenyap
dan tinggal warangkannya.Setelah mengaku kalah dan memohon agar
senjatanya dikembalikan, Syekh Syamsudin menunjukkan letak senjata
tersebut yang berada dalam Latthong ( Bahasa madura yang berarti kotoran
sapi ).
Sebab itulah karena khawatir tentang hal itu, maka beliau menutupi
dadanya dengan cara mengoleskan Latthong disekitar dada beliau. Banyak
sekali kisah kekeramatan beliau. Setelah cukup menjalani darma baktinya
sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan tiga orang
putra. Dan dikebumikan di Batu ampar, madura. Wallahu a’lam
Syekh Husein
Sepeerti halnya pendahulunya, syekh Husein inipun senang menjalani laku
tirakat. Selain itu beliau ini terkenal akan kecerdasan pikirannya.
Beliau hapal Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghozaly. Bahkan hapalannya
sedemikian akurat sampai titik dan baris dikitab itu beliau
mengetahuinya. Masa bertapa Syekh Husein ini tidaklah selama
pendahulunya. Disebabkan perobahan zaman, maka tempat tinggal dan daerah
sekitar telah menjadi ramai oleh pendatang. Beliau banyak bergaul dan
menjadi pemuka masyarakat dan tokoh agama yang disegani. Dan beliau
adalah keturunan terakhir dari Sayyid Husein yang mempunyai kegemaran
bertapa dan menjalankan laku tirakat. Keturunan sesudahnya cenderung
untuk merantau dan mencari guru untuk menuntut ilmu. Wallahu a’lam
Syekh Muhammad Ramly
Putera tunggal Syekh Husein ini sejak kecil senang sekali menuntut ilmu.
Hingga menjelang dewasannya beliau pergi menuntut ilmu dan menuju
Kabupaten bangkalan. Disana beliau berguru dan menuntut ilmu kepada
seorang Waliyullah yang bernama Syaikhona Kholil, Bangkalan. Setelah
cukup menimba ilmu dengan sang Waliyullah, beliau menuju ke Saudi
Arabia. Dan menetap disana selama 10 tahun.
Setelah cukup 10 tahun, akhirnya beliau kembali dan menetap ditanah
asal, batu ampar. Beliau menjadi panutan masyarakat dalam kehidupan
beragama. Setelah berkeluarga, beliau dikaruniai seorang putra yang
diberi nama Damanhuri. Sayang sekali kehidupan beliau sangat singkat.
Saat puteranya masih membutuhkan kaih sayangnya, beliau akhirnya wafat
dan dimaqamkan dipesarean Batu ampar. Wallahu a’lam
Syekh Damanhuri
Semasa hidupnya Syekh Damanhuri tidak banyak mendapatkan belaian kasih
sayang dari Ayahandanya. Hingga akhirnya beliau di asuh sendiri oleh
sang kakek ( Syekh Husein ).Beliau mendapatkan bimbingan dan tuntunan
beragama secara langsung dari Syekh Husein. Akhirnya setelah cukup umur,
beliau pergi menuntut ilmu ditempat Ayahandanya dahulu belajar. Yaitu
ditempat Syaikhona Kholil, Bangkalan.
Singkat cerita setelah cukup menimba ilmu di pesantren Syaikhona Kholil,
beliau akhirnya kembali ke kampung halaman.Seperti halnya para
pendahulu, beliaupun menjadi Tokoh masyarakat di batu Ampar. Syekh
Damanhuri mempunyai 2 orang istri. Dari istri pertamanya dikaruniai 2
orang anak ( KH.Umar Fadli dan Nyai Hasanah ) dan bersama istri yang
kedua dikaruniai 8 orang putra/putri ( KH.Romli, KH.Mahalli,
KH.Ach.Fauzy, KH.Mukhlis, Nyai Zubaidah, KH.Kholil, KH. Abdul Qodir dan
KH.’Ainul Yaqin )
Dan diantara putranya yang masih ada itulah, yang menjadi generasi
penerusnya. Sebagai panutan dan pembimbing serta kholifah dimuka bumi
ini demi terpeliharanya kesucian dan kemurnian Islam untuk masa yang
kita tidak ketahui batasnya.
Demikianlah sekilas kisah Para Buju’ Batu Ampar. Semoga kisah ini
bermanfaat bagi pembaca dan pewaris Ilmu-ilmu Raje. Jadikanlah beliau
diatas sebagai teladan dan hikmah. Wallahu a’lam. Wassalamu’alaikum,
wr.wb. Jazakumullah bi ahsanal jaza.
BUKIT PECARON Syekh Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri
BUKIT PECARON
Bukit Pecaron di Desa Pasir Putih, Kecamatan Bungatan merupakan salah satu objek wisata religi andalan di Situbondo. Puncak bukit itu diyakini merupakan salah satu petilasan (tempat munajat) Syekh Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri. Bahkan sebagian orang meyakini tempat tersebut bukan petilasan, tetapi justru lokasi sang Syekh dimakamkan.
Lokasi bukit Pecaron cukup mudah dijangkau. Tempatnya berada di tepi laut dan tebingnya curam menjulang tinggi. Memandangnya, mengingatkan pada pemandangan khas pura di Uluwatu, Bali. Sisi utara bukit Pecaron memang berbatasan langsung dengan laut. Jika berada di atas bukit, kita bisa leluasa melihat hamparan laut membentang.
Ada legenda yang berkembang di daerah Pasir Putih dan sekitarnya. Dikisahkan, konon bukit Pecaron dulu tidak menyatu dengan daratan. Lokasi bukit ini cukup jauh dari daratan. Untuk mencapainya bukit itu, orang harus menggunakan perahu. Tapi dengan keistimewaan Syekh Maulanan Ishaq, bukit tersebut menyatu dengan daratan. Sehingga memudahkan masyarakat yang akan berkunjung. Memang, legenda tersebut cukup sulit dinalar dengan akal. Tetapi kisah-kisah seperti itu berkembang dan dipercaya sebagian warga Pecaron dan sekitarnya. Sementara itu, keberadaan petilasan Syekh Maulana Ishaq di bukit itu memang mendatangkan berkah bagi masyarakat sekitar. Warga banyak membuka warung dan berjualan sovenir. Jualan mereka dikemas semenarik mungkin, agar bisa memikat hati pengujung yang akan berziarah ke bukit Pecaron.
Pada malam Jumat dan Selasa, pengunjung Bukit Pecaron biasanya memang membeludak. Mereka tidak hanya datang dari Situbondo, tapi banyak juga yang datang dari luar daerah. Sebelum mendaki bukit Pecaron, pengunjung biasanya membeli air mineral atau makanan ringan sebagai dibuat bekal menuju puncak bukit. Tidak sedikit pengunjung yang memilih bermalam di kompleks petilasan Syekh Maulana Ishaq itu.
Mereka yang bermalam itu, biasanya datang untuk menghatamkan Alquran dengan tujuan tertentu. “Orang yang datang ke sini tujuannya macam-macam. Intinya mereka meminta sambungan doa kepada Syekh Maulanan Ishaq, agar apa yang menjadi cita-cita hidupnya tercapai,” terang H Halili, juru kunci Bukit Pecaron.
Untuk menuju puncak bukit, pengunjung perlu menyiapkan stamina. Jika sedang sakit, sebaiknya tidak usah naik. Sebab, bisa dipastikan hanya akan menambah parah sakitnya. Karena jalan menuju puncak bukit itu sangat menanjak. Padahal, panjangnya jalan itu setapak menanjak dan berliku itu hampir satu kilometer. “Pernah ada teman saya yang memilih balik ke bawah, karena merasa tak mampu naik ke atas bukit,” ujar seorang pengunjung. Jalan menuju puncak bukit Pecaron hanya selebar dua meter. Jalan itu disusun mirip tangga batu hingga ke puncak bukit. Jika pernah ke Bali, mendaki jalan ini mengingatkan perjalanan menuju Pura Luhur Ulu Watu di Badung Selatan dengan ketinggian 70 meter dari permukaan laut. Bedanya, jalan setapak menuju Pura Ulu Watu tersebut sudah ditata rapi dan bersih. Sedangkan jalan setapak berliku di bukit Pecaron masih sangat bersahaja. Tangganya terbuat dari deretan batu. Hanya beberapa bagian saja yang ditambal dan dirapikan dengan semen. Itu pun sudah banyak yang mengelupas. Keadaannya juga sangat kotor. Karena banyak daun kering pohon yang terus berjatuhan.
Di sisi jalan berliku itu, sebagian sudah dipasang pagar besi. Pagar besi itu merupakan pengaman sekaligus difungsikan sebagai pegangan tangan pengunjung. Sayangnya, pagar itu hanya ada di sisi kanan jika berjalan mendaki. Sehingga tidak semua pengunjung bisa memanfaatkannya. Padahal, fungsi pagar tersebut benar-benar penting. Pengunjung bisa istirahat dan berpegangan di pagar itu jika merasa lelah. “Pernah ada kejadian, seorang pengunjung jatuh menggelinding ke bawah karena tidak menemukan pegangan saat capek,” ungkap Halili.
Sementara itu, pada beberapa ruas jalan menuju Bukit Pecaron, ada beberapa pedagang bunga tabur. Bagi pengunjung yang tidak membawa bunga dari rumah, bisa membeli di sini. Harga bunga tabur itu pun cukup terjangkau.
Meski hanya sebuah petilasan (tempat munajat), dalam kamar utama bertuliskan Syekh Maulana Ishaq itu terdapat sebuah bangunan makam. Terdapat juga dua batu hitam mengkilap di kamar berukuran 4 x 4 meter. Batu itulah yang diyakini sebagai tempat duduk sang Syekh dalam bermunajat kepada Yang maha Kuasa.
PETILASAN SYEKH MAULANA ISHAQ
Begitu sampai di Bukit Pecaron, pengunjung sudah bisa bernafas lega. Mereka sudah tidak perlu lagi mengatur irama nafasnya, sebagaimana yang dilakukan saat mendaki jalan setapak menuju ke puncak Pecaron. Para pengunjung juga sudah dapat beristirahat sejenak sebelum berdoa di depan petilasan Syekh Maulana Ishaq.
Ada dua bangunan di puncak bukit Pecaron. Satu bangunan berukuran sekitar 4 meter x 6 meter. Pelataran ini biasanya digunakan untuk tempat peristirahatan sekaligus tempat antre para pengunjung yang akan masuk ke tempat munajat Syekh Maulana Ishaq. Saat pengunjung penuh, masuk ke tempat petilasan Ayahanda Sunan Giri itu memang tidak bisa seenaknya.
Pengunjung harus sabar antre hingga tiba gilirannya. Tempat munajat Sang Syekh kini sudah dibuat kamar khusus dengan ukuran sekitar 4 x 4 meter. Di atas pintu masuk kamar itu ada tulisan ’Syekh Maulana Ishaq’. Kamar berlantai keramik itu hanya mampu menampung belasan pengunjung. Sebab, di dalamnya bukanlah ruangan yang terhampar layaknya tempat munajat pada umumnya.
Di dalam kamar berlantai keramik itu justru ada sebuah makam. Dari sini, kemudian sebagian warga percaya kalau petilasan adalah makam Syekh Maulana Ishaq. Di depan pintu masuk, ada dua batu hitam cukup mengkilat yang menonjol di lantai keramik putih. Batu itulah yang diyakini sebagai tempat duduk Syekh Maulana Ishaq.
Saat berdoa di depan Petilasan Syekh Maulana Ishaq, Halili biasanya membantu pengunjung memimpin doa. Sebelum berdoa, dilakukan beberapa ritual kepercayaan pengunjung. Ada yang mengirim doa dengan membaca surat Al Fatihah atau membaca tahlil dulu. “Ini juga agar pengunjung tidak salah tujuan datang ke sini. Perlu saya jelaskan dan luruskan niatnya,” kata Halili.
Satu lagi yang cukup menjadi perhatian pengunjung saat datang ke Bukit Pecaron. Di bawah bukit ada sebuah gua. Sayang gua ini hanya bisa dinikmati dari luar. Tidak ada yang berani memasuki gua tersebut. Selain lokasinya gelap dan berbahaya, warga sekitar menganggap gua itu mempunyai kekuatan magis yang cukup besar. Yang jelas, karena jarang ada yang nekat masuk menelusurinya, kisah tentang gua tersebut menyimpan banyak misteri. “Dulu kabarnya pernah ada warga yang masuk, namun dia tak pernah keluar lagi,” terang Zainullah, warga Kapongan yang datang ke bukit Pecaron.
Akhirnya, banyak beredar kisah misteri seputar gua tersebut. Ada versi yang menyatakan kalau gua tersebut kalau ditelusuri, konon bisa menembus hingga ke Pulau Madura. Ada juga versi kisah misteri yang mengatakan bahwa dengan memasukinya, bisa tembus ke Makkah. “Namun tentunya, yang masuk (gua tersebut) bukan orang-orang biasa. Tapi orang yang dekat dengan Allah. Kalau orang biasa yang masuk, biasanya tidak kembali lagi,” terang salah seorang warga.
Sementara itu, Disperindagpar diam-diam sudah menyusun sebuah buku yang menceritakan asal-usul Bukit Pecaron. Diceritakan, Bukit Pecaron jadi dikenal berawal dari kedatangan Syekh Maulanan Ishaq ke Tanah Jawa. Ketika itu, dia mendengar ada sayembara di Kerajaan Blambangan. Sang Raja Blambangan, Minak Sembuyut mengeluarkan sayembara. Isinya, siapa saja yang bisa menyembuhkan putrinya yang sedang sakit parah, maka dia akan dijadikan menantu.
Syekh Maulana Ishaq pun mengikuti sayembara tersebut dan berhasil memenangkannya. Sejak saat itu, sang Syekh mencoba meng-Islamkan sang istri maupun seluruh isi istana. Sayang, kesuksesan Syekh Maulana Ishaq mengundang iri dan dengki Patih kerajaan. Karena tidak ingin terjadi pertumpahan darah, Sang Syekh memilih menyingkir dari istana. Dia hanya berpesan kepada istrinya yang sedang hamil, agar jika anaknya lahir diberi nama Raden Paku dan dihanyutkan ke laut. Setelah besar, Raden Paku ini menjadi salah satu wali yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa yakni Sunan Giri.
Syekh Maulana Ishaq sendiri, setelah menyingkir dari istana memilih terus berkelana ke arah barat. Selama perjalanan itu, dia terus menyebarkan ajaran Islam. Di Situbondo, ada tiga tempat yang diyakini sebagai tempat petilasan Syekh Maulana Ishaq. Yakni di Bukit Bantongan, Desa Sumberkolak, Kecamatan Panarukan; Bukit Tampora, Kecamatan Banyuglugur serta di Bukit Pecaron, Desa Pasir Putih, Kecamatan Bungatan.
Rabu, 02 Mei 2012
PESAREAN ASTA JOKO TARUP DI PAMEKASAN MADURA
Rabu, 02 MAY 2012
PESAREAN JOKO TARUP PAMEKASAN Kec. Larangan MADURA
SEKILAS CERITA RAKYAT TENTANG BUJU’ PACANAN DESA MONTOK KECAMATAN LARANGAN KABUPATEN PAMEKASAN MADURA JAWATIMUR
JOKO TARUP YANG BERISTRI SEORANG BIDADARI DARI KAYANGAN
Konon ceritanya pada zaman dahulukala ada dua orang dari banten, jawa barat yang bernama SYEKH MAULANA MAGHRIBI dengan anaknya yang bernama JOKO TARUP. Mereka diutus menyebarkan agama islam yang pertama kejawa timur, sesampainya di madura tepatnya di dusun pacanan desa montok kabupaten pamekasan pertama kali meraka singgah dan menyebarkan agama islam disana.
Beberapa hari kemudian joko tarup pergi ketaman untuk mandi, sesampainya disana beliau terkejut melihat ada bidadari sedang mandi ditaman dan bidadari tersebut mencium bau manusia lalu mereka cepat terbang kekayangan, keesokan harinya joko tarup berniat untuk mengintip kembali apakah bidadari itu akan kembali untuk mandi?, ternyata memang benar empat puluh satu (41) bidadari tersebut satu persatu turun untuk mandi ditaman.
Dimana tempat selendang bidadari yang paling cantik dengan joko tarup di ambil dan dibawanya pulang, beberapa menit kemudian joko tarup kembali lagi ketaman dan melihat satu bidadari yang bernama DEWI NAWANG WULAN yang ditinggal temannya, lalu joko tarup itu menghampirinya dan dibawa pulang karena selendangnya hilang, tanpa selendang bidadari tidak bisa terbang kekayangan.
Beberapa hari kemudian dewi nawang wulan di peristri oleh joko tarup dan mengadakan selamatan, semua prawali-wali dan praulamak-ulamak di undang,sesudah selamatan tusuk sate ditanam menjadi preng sodjin dan kutil kelapa ditanam menjadi pohon nyior kotel.
Lama kemudian dewi nawang wulan melahirkan anak perempuan yang di beri nama DEWI NAWANG SASI (bujangga anom), dewi nawang wulan ingin pergi mencuci baju dan dia menitipkan anaknya beserta nasi yang sedang dimasaknya kepada joko tarup dan dia menyarankan kalau kayunya habis ditambahkan tetepi nasi itu tidak boleh dibuka.
Sesaat kemudian karena joko tarup diberi amanat oleh dewi nawang wulan lalu beliau melaksanakannya pergi kedapur melihat kayunya habis ditambah. joko tarup timbul pertanyaan?? Mengapa dia dilarang untuk melihat nasi itu? Beliau penasaran? Lalu dibukanya tutup nasi itu, ternyata dia terkejut melihat isi didalamnya hanya tiga butir padi dan beliau tutup lagi.
Tak lama kemudian dewi nawang wulan datang dan terus kedapur, dia heran mengapa nasi yang dimasak belum masak? Karena sudah dibuka oleh joko tarup nasi tersebut tidak bisa masak kekuatan dewi nawang wulan pun lenyap.
Dewi nawang wulan menyuruh joko tarup untuk mencari orang penumbuk padi, lama kelamaan padi tersebut menjadi sedikit karena setiap harinya sudah ditumbuk, dewi nawang wulan terkejut melihat selendangnya ada di bawah padi ketan hitam lalu diambilnya dan dewi nawang wulan murka karena ternyata selama ini joko tarup yang menyembunyikan selendangnya dan dia terbang kembali kekayangan ditinggalkannya suami dan anaknya.
Joko tarup kewalahan mengurus anaknya menangis terus-menerus karena kelaparan ingin menyusu, tidak ambil resiko joko tarup terbang kekayangan menyusul dewi nawang wulan, sesampainya dikayangan joko tarup bertemu dengan dewi nawang wulan dan diajaknya dewi nawang wulan pulang ke alam kasar untuk menyusui anaknya, dewi nawang wulan menolak dan menyuruh joko tarup cepat turun ke alam kasar sesampainya di alam kasar dewi nawang wulan menyuruh membuat ranggun (rumah merpati).
Joko taruppun turun kealam kasar dan membuat apa yang disuruh dewi nawang wulan lalu beliau menaruk anaknya ke atas ranggun, beliau kangen diambil anaknya dan menangis lagi ditaruknya ke atas, joko tarup heran mengapa setelah ditaruk keranggun anaknya diam? dengan hati curiga joko tarup mengintip ke atas, ternyata dewi nawang sasi disusui oleh seekor kerbau putih, karena sangat terkejut joko taruppun bersumpah “turun temurun anak cucuku tidak boleh makan daging sapi” lalu ada santri bertanya, “Mengapa harus sapi? sedangkan yang menyusui kerbau putih?” joko tarup berkata “ saya bilang merah tidak boleh dirubah putih, saya bilang putih tidak boleh dirubah merah”.
SILSILAH KETURUNAN JOKO TARUB
Label:
WISATA RELIGI
Lokasi:indonesia
Jalan Raya Larangan, Larangan, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)